Senin, 11 Februari 2019

BIOGRAFI LENGKAP ABU JA'FAR AL MANSUR


Abu Ja’far Al Mansur


Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur (712-775 M) adalah khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ia dilahirkan di al-Humaymah, kampung halaman kelurga abbasiyah setelah bermigrasi dari Hijaz pada tahun 687-688. Ayahnya bernama Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib. Ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, wanita dari suku Barbar yang dulunya seorang budak. Abu Ja’far selalu mendapat anugrah kemenangan dalam setiap peperangan melawan Bani Umayyah dan kerusuhan-kerusuhan kaum pemberontak di dalam negri dan dalam menekan imperium Bizantium. Oleh karena itu ia diberi gelar “al-Mansur” (orang yang mendapat pertolongan Allah)


1. Abu Ja’far Al Mansur menjadi khalifah.
Abu Ja'far Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abu Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam dan Abu Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah. Abu Abbas hanya memerintah dalam kurun waktu singkat, yakni empat tahun. Oleh karena itu, ia kehilangan jati dirinya. Kehidupannya yang dikenal dlaam sejarah pertama hanyalah sebagai pembasmi Dinasti Umayyah. Abu Abbas Al-Saffah meninggal tahun 754 M. Dan digantikan oleh saudaranya, Ia dibaiat sebagai khalifah karena penobatannya sebagai putera mahkota oleh kakaknya Abu Abbas As-Saffah ,ketika itulah Abu Ja’far Al-Mansur menjadi khalifah pada tahun 754-774 M. Dialah sebenarnya yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Abassiyah. Dia tetap melanjutkan kebijaksanaan Al-Saffah yakni menindak tegas setiap orang yang menentang kekuasaannya, termasuk juga dari kalangan keluarganya sendiri. Sifat dan watak Al-Mansur dikenal oleh penulis sejarah sebagai seorang politikus yang demokratis, pemberani, cerdas, teliti, disiplin, kuat beribadah, sedErhana, fasih dalam berbicara, sangat dekat dan memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, tidakah mengherankan bahwa selama kurang lebih 20 tahun kekuasannya, ia berhasil meletakan landasan yang kuat dan kokoh bagi kehidupan dan kelanjutan kekuasaan Dinasti Abbasiyah itu.



2. Keadaan pemerintahan pada masa khalifah Al-Mansu
r


Khalifah al Manshur adalah Khalifah ke 2 Dinasti Abbasiyyah sekaligus peletak dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyyah. Ketika awal Khalifah al Manshur berkuasa Daulah Bani Abbasiyyah masih dalam masa transisi dari kekuasaan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyyah, namun berkat strategi kepemimpinan ataupun pola pemerintahannya yang tergolong radikal Ia mampu melewati masa transisi dengan gemilang dimulai ketika Abu Ja'far al Manshur mengangkat dirinya menjadi Khalifah bergelar al Manshur. Pada mulanya ibu kota negara adalah Al- Hasyimiyah dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas dan negara yang baru berdiri itu. al Mansur memindahakan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad bekas ibu kota Persia.

Baghdad terletak di pinggir sungai Tigris. Khalifah al Manshur sangat cermat dan teliti dalam memilih lokasi yang akan dijadikan ibu kota. Ia menugaskan beberapa orang ahli untuk meneliti dan mempelajari lokasi. Dengan mengerahkan ratusan peneliti yang akhirnya memutuskan untuk membangun kota Baghdad mengerahkan lebih dari 100 ribu ahli bangunan terdiri dari arsitektur,tenaga bangunan dan lainnya. Kerja keras tim ahli bangunan dengan dana 3.88 juta Dirham dikerjakan selama 4 tahun berhasil secara gemilang membangun kota Baghdad yang unik nan megah kemudian kota Baghdad dijuluki Madinat as Salam atau kota perdamaian. Kota Baghdad juga sebagai pusat intelektual terdapat beberapa aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu, dan juga pusat penerjemah buku-buku dari berbagai cabang ilmu yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa arab.



Kota Baghdad memang indah memukau bagaimana tidak kota Baghdad yang dibangun selama 4 tahun yang didesain oleh Nowbakht, persia dan Mashallah dari Iran itu berbentuk bundar hingga dijuluki kota Bundar terinspirasi kota Firouyabad di Persia kemudian kota Baghdad d ikelilingi 3 tembok benteng dan dilengkapi Istana Khalifah yang megah bernama al Qasr Az Zahabi atau istana keindahan, masjid Jami' al Manshur, pasar, alun-alun, parit ,kanal sebagai saluran air sekaligus benteng pertahanan membuat kota Baghdad menjadi kota peradaban Islam ketika itu.
Selama masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur. Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada gejolakpolitik dan pemberontakan-pemberontakan.



Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya. Kelompok pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali, paman Abu Ja'far sendiri. Ia menjabat panglima perang Bani Abbasiyah. Kegagahan dan keberaniannya dikenal luas. Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta sangat berambisi menjadi khalifah.Kelompok kedua dipimpin Abu Muslim Al-Khurasani, orang yang berjasa besar dalam membantu pendirian Dinasti Abbasiyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya, ia sangat disegani serta dihormati di kalangan Bani Abbasiyah. Masyarakat luas banyak yang menjadi pengikutnya. Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur khawatir pengaruh Abu Muslim terlalu besar terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah.Kelompok ketiga adalah kalangan Syiah yang dipimpin pendukung berat keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan mereka membawa nama-nama keluarga Nabi Muhammad Saw.
Setelah berhasil mengantisipasi kelompok-kelompok yang dapat menjadi batu sandungan pemerintahannya, pertama kali dilakukan Khalifah Abu Ja'far al Manshur adalah mengatur politik dengan segala siasat pemerintahan Bani Abbasiyyah sehingga terjalin kerjasama erat pemerintah pusat dan daerah atau kepala-kepala dinas lainnnya kemudian membuat stabilitas politik dalam negeri terkendali tanpa gejolak dan pemberontakan-pemberontakan. Perjalanan hidup Abu Ja'far al Manshur tak kalah menarik saat mengangkat Abu Hanifah sebagai Hakim Tinggi atau Qadhi Qudha ,namun sang Abu Hanifah menolak keras bahkan disertai ancaman agar Ia memegang jabatan itu. Ketika mendapat ancaman tersebut Abu Hanifah menjawab  “seandai anda mengancam untuk membenamkanku ke dalam sungai Eufarat atau memegang jabatan itu sungguh aku akan memilih untuk dibenamkannya”  ,mendengar sikap Abu Hanifah yang menolak keras tawaran jabatan sebagai Qadhi Qudha membuat Khalifah Abu Ja'far al Manshur amat murka apalagi mendengar Abu Hanifah terlibat dalam geraka,  akhirnya sang Imam dipenjara sampai meninggal.
Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur juga berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha-usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.



3.Perubahan-perubahan yang dilakukan khalifah al-Mansur pada dinasti Abbasiyah

Perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara dikuasa di masa mendatang, yaitu:
1. Pada tahun 762 M, Al mansur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi  ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.

2. Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
3. Di bidang pemerintahan, Al-Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai  koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
4. Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara.
5. Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata.
6. Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
7. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

4. Perkembangan Politik, Ekonomi, dan Administrasi



Sejarah telah mengukir pada masa Dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada di pucak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban islam
Daulat Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad (750-1258 M). Pemerintahan yang panjang tersebut dapat dibagi dalam dua periode. Periode I adalah masa antara tahun 750-945 M, yaitu mulai pemerintahan Abu Abbas sampai Al-Mustakfi termasuk Al Mansur sebagai khalifah kedua. Periode II adalah masa antara tahun 945-1258 M, yaitu masa Al-Mu’ti sampai Al-Mu’tasim. Pembagian periodisasi ini diasumsikan bahwa pada periode pertama, perkembangan di bidang masih menunjukan grafik vertikal, stabil dan dinamis. Sedangkan pada periode II, kejayaan terus merosot sampai datangnya pasukan Tartar yang berhasil menghancurkan Dinasti Abbasiyah.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah periode I, kebijakan-kebijakan politik yang dikembangkan antara lain:
1) Memindahkan ibukota negara dari Damaskus ke Bagdad;
2) Memusnahkan keturunan Bani Umayyah;
3) Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri, Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada kaum mawali;
4) Menumpas pemberontakan-pemberontakan;
5) Menghapus politik kasta.
Selain kebijkan-kebijakan diatas, langkah-langkah lain yang diambil dalam program politknya adalah:
1) Para khalifah tetap ari Arab, sementara para menteri, gubernur, panglima perang dan pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan Mawali;
2) Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibukota negara dan menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan;
3) Kebebasann berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.

Dalam masa permulaan pemerintah Abbasiyah, pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan cukup stabil dan menunjukn angka vertikal. Devisa negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah Al-Mansur merupakan tokoh ekonom Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan negara.
Di sektor pertanian, daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah negara, bendungan-bendungan dan digali kanal-kanal sehingga tidak ada daerah pertanian yang tidak terjangkau oleh irigasi.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan,juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia pada saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota kedua. Sungai Tigris dan Efrat menjadi pelabuhan transmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan tingkat internasional ini semenjak khalifah Al-Mansur.




5. Perkembangan ilmu pengetahuan
 Abu ja’far al mansur sangat sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan untuk sebuah peradaban. Ia memahami bahwa sebuah kekuasaan tidak akan kokoh tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu yang bermanfaat adalah pilar amal kebaikan serta sumber dari kehidupan yang bemakna.


Oleh sebab itu, dalam konteks inilah kita akan memahami al-Mansur seorang khilafah yang sangat memperhatikan ilmu agama dan dunia secara seimbang. Sangat tidak mengherankan jika al-Mansur sangat memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan agama. Karena beliau adalah salah seorang yang sangat paham ilmu agama.
Suatu ketika, beliau pernah berkata kepada Imam Malik yang saat itu menjadi Imam penduduk Madinah: “Wahai Imam Malik, engkau sangat mengetahui bahwa saat ini tidak ada yang memahami ilmu agama dengan baik kecuali engkau dan aku. Engkau juga mengetahui betapa aku sibuk megurusi rakyat. Oleh sebab itu, aku sangat berharap jika engkau menulis sebuah buku yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan kriteria seperti ini. “lalu Imam Malik mengomentari perkataan al-Mansur:”Sungguh beliau telah memberikan inspirasi padaku, bagaimana menulis. “ setelah Imam Malik selesai menulis buku tersebut, beliau memperhatikannya kepada al-Mansur. Saat itu, al-Mansur sangat menginginkan agar buku tersebut menjadi sumber undang-undang negara serta digunakan di lembaga-lembaga peradilan negara. Seandainya saat itu Imam Malik tidak menolaknya, maka niscaya buku itu telah menjadi undang-undang negara.

Selama masanya, karya sastra dan ilmiah di Dunia Islam mulai muncul dalam kekuatan penuh, didukung toleransi terhadap orang-orang Persia dan kelompok lain. Walau Khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abd al-Malik telah mengambil praktik peradilan Persia, itu tak sampai masa al-Mansur jika sastra dan ilmu pengetahuan Persia sampai mendapat penghargaan yang sebenarnya di Dunia Islam. Munculnya Shu'ubiya di antara sarjana Persia terjadi selama masa pemerintahan al-Mansur sebagai akibat hilangnya sensor atas Persia. Shu'ubiya merupakan gerakan sastra antara orang Persia yang menunjukkan kepercayaan mereka bahwa seni dan budaya Persian lebih tinggi daripada Arab; gerakan, membantu mempercepat munculnya dialog Arab-Persia pada abad ke-8.

6. wafatnya Abu Ja’far Al mansur

Abu Ja’far Al-Mansur meninggal pada tahun 775 dalam perjalanannya ke Makkah untuk berhaji. Ia dimakamkan entah di mana di sepanjang jalan dalam salah satu ratusan nisan yang telah digali untuk menyembunyikan badannya dari orang-orang Umayyah. Kedudukannya sebagai khalifah  digantikan oleh putranya yang bernama  Muhammad bin Mansur al-Mahdi, atau lebih dikenal dengan sebutan al mahdi.